Senin, 15 April 2013

Pemberkasan Honorer di NTB Berindikasi Maladministrasi


Mataram, SE
Ombudsman Perwakilan Nusa Tenggara Barat (NTB) menemukan indikasi maladministrasi pada pemberkasan tenaga honorer kategori dua (K-2), yang merugikan ratusan bahkan ribuan honorer daerah.
“Ada indikasi maladministrasi dan permasalahan itu segera kami ajukan agar direkomendasi oleh Ombudsman pusat ke pemimpin negara dan kementerian terkait,” kata Kepala Ombudsman Perwakilan NTB Adhar Hakim, yang didampingi tiga orang asistennya, di Mataram, Sabtu.
Ketiganya itu yakni Asisten Bidang Pelaporan dan Pendataan Ombudsman Perwakilan NTB Arya Wiguna, Asisten Bidang Pencegahan Muhammad Ridha, dan Asisten Bidang Pengawasan Mulyadin.
Maldaministrasi merupakan perilaku aparat pelayanan publik yang menyimpang dari asas dan ketentuan pelayanan yang baik. Maladministrasi menggambarkan perilaku koruptif, atau perbuatan melahirkan korupsi.
Adhar mengatakan, sejak beberapa pekan terakhir ini pihaknya menerima puluhan pengaduan dari berbagai kelompok honorer di Pemerintah Provinsi NTB, Pemerintah Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Timur.
Menindaklanjuti laporan pengaduan itu, Ombudsman NTB melakukan investigasi lapangan dan analisa mendalam terkait permasalahan tersebut.
Hasilnya, ditemukan adanya tidak konsisten dalam penerapan aturan sejak di tingkat Pejabat Pembuat Keputusan (PPK), SKPD dan BKD provinsi dan kabupaten/kota, serta BKN.
Selain itu, ditemukan lemahnya pemahaman terhadap aturan sehingga menimbulkan beragam tafsir saat pemberkasan administrasi tenaga honores K-2 itu.
Ombudsman NTB juga menemukan ketidakkonsistenan dalam penerapan aturan dan kebijakan, seperti pemerintah membatasi perekrutan tenaga honor, namun faktanya masih banyak daerah yang melakukan perekrutan.
Tidak diberikan sanksi yang tegas apabila ada daerah yang melanggar ketentuan pembatasan perekrutan tenaga honorer, sehingga perekrutan tenaga honorer menjadi tidak terkendali.
Temuan lainnya yakni database honorer yang lemah di setiap instansi yang membuka peluang dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk melakukan pemalsuan dokumen, dan adanya persyaratan yang tidak ketat dalam pengangkatan honorer K-2 sehingga berpotensi menimbulkan praktik nepotisme.
“Kesemuanya itu mengarah kepada indikasi maladministrasi sehingga patut diketahui Presiden dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Jika memungkinkan direkomendasikan untuk pemberkasan ulang honorer K-2 itu,” ujar Adhar.
Program pemberdayaan tenaga honorer oleh pemerintah, dibagi dalam dua kategori yakni kategori satu (K1) tentang honorer yang didanai APBN dan APBD, dan kategori dua (K2) yakni honorer yang upahnya tidak bersumber dari APBN dan APBD. 
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) dan Reformasi Birokrasi (RB) memberdayakan semua tenaga honorer yang masuk “database” sampai 2005 yakni mengangkatnya menjadi CPNS, namun masih saja ada tenaga honorer yang belum terakomodasi.
Menteri PAN (Menpan) dan RB kemudian menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor 5 Tahun 2010 yang mengatur tentang pendataan tenaga honorer yang bekerja di lingkungan pemerintah.  
Untuk honorer K1, pemerintah telah mengumumkan pengangkatannya menjadi CPNS yang jumlahnya sebanyak 270 ribu orang, pada Maret 2012. Sedangkan honorer K2 yang jumlahnya sekitar 630 ribu, kini masih diverifikasi lebih lanjut.
Honorer K2 didata secara rinci dari nama, tempat kerja, waktu mulai kerja, upahnya bersumber dari mana, dan siapa yang mempekerjakan honorer tersebut, hingga Kementerian PAN dan RB mengumumkan ke publik dalam kerangka uji publik.
Sejak 27 Maret 2013, instansi terkait di Pemerintah Provinsi NTB beserta pemerintah kabupaten/kota mengumumkan daftar nama tenaga honorer K-2 di media massa untuk mendapatkan tanggapan publik.
Sesuai Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Nasional (BKN) Nomor 9 Tahun 2012 tentang Pengangkatan Honorer Menjadi PNS, uji publik itu berlangsung selama 21 hari, sehingga akan berakhir 16 April 2013.(ant)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar